Pantai Papuma —atau saya lebih suka menyebutnya sebagai Malikan— merupakan tempat sempurna menghabiskan waktu di lu-ar akhir pekan. Mengapa saya sebut demikian, karena di saat se-perti inilah interaksi dengan pasir putih, air laut berwarna hijau biru turquoise dan bebatuan yang menjulang terasa lebih sempurna, tanpa “gangguan” pengunjung yang me-menuhi bibir pantai.
Cukup duduk di atas hamparan paisr sembari memandang ke arah kejauhan, terasa betapa asyiknya menjaring angin bersama panorama sekitar. Malikan memiliki sebuah bagian menjorok ke laut, terkenal sebagai Tanjung Papuma. Rata-rata penjual hidangan di kawasan pantai ini, mengabadikan gambar itu untuk dijadikan banner resto dan warung mereka.
Tidak terkecuali Zainal, pemilik kedai Sido Makmur, yang pelataran tempat usahanya kerap dijadikan lokasi parkir kendaraan pengunjung untuk menikmati Matahari terbenam di Tanjung Papuma. Dari lokasi tanjung sampai pantai, terciptalah bentuk menyerupai tapal kuda, dengan “aksesori” beberapa bebatuan berlumut yang seolah muncul dari dalam laut.
Membentuk semacam larik yang tidak pernah henti terkena hempasan air laut berwarna biru kehijauan. Konon, dari sinilah muncul julukan “malikan” yang berarti berbalik atau bisa dideskripsikan sebagai berbaliknya gelombang la-ut menjadi buih-buih putih setelah menghempas deretan bebatuan yang menjulang di bibir pantai.
Lantas di sisi lain pesisir, terdapat deretan perahu-perahu nelayan Madura dengan lunas berbentuk khas dan dicat warna-warni—mengingatkan saya pada ujung sepatu Ali Baba. Lunas seperti ini memberikan petunjuk, bentuknya dirancang sedemikian rupa, untuk memecah gelombang tinggi.
Menurut Zainal, tidak hanya keindahan pantai saja yang bisa dinikmati di sekitar Malikan, namun juga keberadaan monyet kelabu serta biawak di sekitar pesisir sampai hutan sekunder di bagian belakang pantai. “Pendeknya, alam sekitar sini masih bisa dibanggakan untuk kategori wisata di Jawa Timur,” papar pria yang juga berprofesi sebagai penjaga parkir itu.
Pantai Tanjung Papuma. (Ranu Mardianto/Fotokita.net)Keindahan Pantai Papuma yang belum banyak berubah dari masa ke masa, juga tercatat kuat dalam ingatan Abdul Azis, seorang penjual rujak manis asal Desa Sumber Rejo, tidak jauh dari destinasi wisata Pantai Watu Ulo —sebuah pesisir yang juga ber-pemandangan indah, tetangga terdekat Pantai Papuma.
“Dulu, sekitar tahun 1980-an belum ada akses semudah ini menuju Tanjung Papuma,” kisah pria yang sudah berjualan rujak aneka buah berkuah gula Jawa, sejak tahun 1989 itu. “Setiap kali ada pengunjung tertarik ke sini, mereka mesti menggunakan Willy’s atau kendaraan jip berpenggerak empat roda, karena hanya tersedia jalan makadam.”
Satu hal dicermati Abdul Azis, bahwa kawasan wisata Tanjung Papuma masih perlu beroleh perhatian besar menyoal kebersihan. Beberapa kali ia bertandang ke Bali, dan menemui kenya-taan bahwa, “Tiap pantai di sana memiliki petugas kebersihan yang bekerja berkesinambungan. Sementara di sini, tenaga atau pegawainya masih kurang.”
Meski demikian, urusan kebersihan pantai pasir putih Malikan menjadi catatan tersendiri bagi saya sebagai seorang pejalan. Ketersediaan tempat sampah terbilang banyak dan hamparan pasir tampak bebas dari onggokan sampah, terkecuali di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Pertanda bahwa pekerja kebersihan melaksanakan tu-gas dengan baik.
Tanggung jawab memelihara lingkungan sekitar, juga diberikan pengelola kepada para pengusaha yang berada di kawasan pantai. Saat bersantap siang di Warung Pak Yit dengan hidangan udang dan kakap merah bakar nan sedap, saya bertamu sejenak ke dapur untuk minta tambahan sambal serta es teh manis. Di saat itulah, pada dinding dapur saya membaca semacam selebaran yang memuat daftar piket para pemilik warung makan sari laut di Tanjung Papuma.
Menurut si empunya warung, barang siapa mendapat tugas piket tidak dibolehkan meninggalkan lokasi sejak petang hingga pagi. Terhitung mulai pukul 18.00 - 07.00. “Selain faktor keamanan menjaga properti deretan resto dan warung, kami juga mesti ikut menilik dan berperan aktif untuk penanganan kebersihan lingkungan sekitar,” jelasnya sembari mengangsurkan semangkuk sambal kecap dicampur ulekan kacang dan irisan cabai hijau menggugah selera.
(R. Ukirsari Manggalani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar