Jumat, 13 September 2013

Ikan Invasif Dominasi Perairan Darat

Ikan aligator yang kepalanya mirip buaya, beberapa kali muncul di Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Di kalangan pembudidaya ikan keramba jaring apung Jatiluhur, jenis ikan ini cukup besar dan galak serta pernah menggigit manusia. | KOMPAS/Dedi Muhtadi
JAKARTA, KOMPAS.com — Berbagai jenis spesies invasif mendominasi ekosistem-ekosistem perairan darat di Indonesia. Kondisi ini mengkhawatirkan dan perlu upaya pemerintah menghentikan introduksinya serta mengendalikan berbagai spesies yang telanjur masuk perairan.

Selain mengancam keberadaan spesies-spesies endemis atau asli perairan itu, kehadiran spesies invasif juga mengganggu perekonomian masyarakat pemanfaat sumber daya perikanan.

Gadis Sri Haryani, peneliti Pusat Limnologi LIPI, mengatakan, peneliti tak menyarankan introduksi ikan asing. ”Saran kami merevitalisasi populasi ikan asli,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/9/2013).

Di Waduk Sermo, Yogyakarta, introduksi ikan merah (red devil) memangsa wader, mas, tawes, dan nila. Ikan mas dan nila termasuk ikan introduksi yang menjadi bagian ikan konsumsi di Indonesia. Ikan mas berasal dari China dan nila dari Afrika.

Sepuluh tahun sejak ikan itu diintroduksi, tangkapan warga menurun dan sekitar 75 persen tangkapan adalah red devil. Kini, spesies red devil mulai menyebar ke Cirata dan Jatiluhur.

Ikan nila (Oreochromis niloticus) dari Afrika, sejak 1969, yang dimasukkan ke Danau Laut Tawar Aceh mendesak populasi depik (Rasbora tawarensis), ikan endemis. Di Danau Ayamaru, Papua Barat, ikan mas (Cyprinus carpio) yang diintroduksi dari Jepang/China pun invasif, memangsa ikan pelangi (Melanotaenia ayamaruensis), endemis.

Di Kali Brantas, Jawa Timur, saat Arung Hayati Keanekaragaman Hayati 2013, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menemukan 85 persen jenis ikan didominasi sapu-sapu dan nila. Ini mengalahkan spesies endemis, seperti ikan belida, tawes, keting, baung/rengkik, dan jendil.

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton, yang dihubungi sedang menyusuri Brantas di ruas Tulungagung-Kediri, mengatakan, ikan sapu-sapu awalnya diintroduksi untuk mengurangi lumut di badan sungai. Perkembangannya justru tak terkendali.

”Kami berkonsultasi dengan para pakar dari perguruan tinggi untuk pengendalian atau penanganan,” kata Muhammad Ridwan, Kepala Pusat Karantina Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan. (ICH/KOMPAS CETAK)


View the original article here

Tidak ada komentar:

Posting Komentar